Resiko Jual Beli Rumah Yang Dilakukan Tidak Di Hadapan PPAT

Tidak dapat dipungkiri bahwa masih banyak terjadi di dalam masyarakat kita dewasa ini yaitu proses jual beli rumah atau tanah yang dilakukan hanya dengan surat dibawah tangan saja, karena dilatarbelakangi oleh rasa saling percaya antara pihak penjual dengan pihak pembeli, baik itu karena adanya hubungan keluarga, ataupun karena sebuah hubungan pertemanan.
Apa saja resikonya jika hal tersebut kita lakukan?

Lebih dahulu perlu saya jelaskan bahwa mengenai peralihan kepemilikan hak atas tanah di Indonesia pada saat ini telah diatur oleh beberapa peraturan perundang undangan, salah satunya adalah yang bisa kita lihat pada pasal 37 PP no. 24 tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, yang mengatakan bahwa : “Peralihan hak atas tanah dan hak milik atas satuan rumah susun melalui jual beli, tukar menukar, hibah, pemasukan dalam perusahaan dan perbuatan hukum pemindahan hak lainnya, kecuali pemindahan hak melalui lelang, hanya dapat didaftarkan jika dibuktikan dengan akta yang dibuat oleh PPAT yang berwenang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku“.

Dengan memperhatikan pasal 37 PP no. 24 tahun 1997 tersebut diatas, dapatlah kiranya kita melihat resiko-resiko apa yang akan timbul dikemudian hari jika kita melakukan jual beli rumah atau tanah dengan surat dibawah tangan (tidak di hadapan PPAT), walaupun dengan telah dihadiri oleh 2 orang saksi, serta ada kuitansi sebagai bukti pembayaran, yaitu :

Read More »

Dapatkah Suami Menjual Rumah Tanpa Persetujuan Istri?

Seringkali saya kedatangan tamu di kantor, baik itu seorang bapak ataupun ibu, yang berniat untuk menjual rumah miliknya. Maka setiap kali itu pula saya selalu menanyakan apakah rumah yang akan dijual tersebut didapatkan sebelum, atau selama dalam masa perkawinan bersama pasangannya.

Lebih lanjut saya selalu menjelaskan kepada mereka, bahwa apabila rumah yang akan dijual tersebut didapatkan selama dalam masa perkawinan bersama pasangannya, maka berdasarkan UU Perkawinan pasal 35 (1) dan 36 (1), rumah tersebut dihitung sebagai harta bersama, dan oleh karenanya ketika rumah tersebut akan dijual, maka harus atas persetujuan bersama pasangan. Sehingga nantinya pada saat penandatanganan akta jual beli dihadapan PPAT, meskipun sertipikat rumah terdaftar atas nama suami saja, namun istri tetap wajib diminta persetujuannya, baik itu dengan cara ikut hadir dihadapan PPAT dan ikut menandatangani akta jual belinya, ataupun dengan menggunakan akta persetujuan tersendiri yang dibuat dihadapan Notaris.

Penjualan rumah tanpa persetujuan pasangan dimungkinkan apabila rumah tersebut adalah harta pribadi yang didapatkan sebelum perkawinan, ataupun yang didapatkan dari hadiah atau warisan, sehingga terhadap harta tersebut baik suami ataupun istri sebagai pemilik harta mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum mengenai harta bendanya. Penjualan rumah tanpa persetujuan pasangan juga dimungkinkan apabila pasangan tersebut menikah dengan membuat prenuptial agreement (perjanjian kawin) yang berisi tentang pemisahan harta.

Namun jika tanpa kedua kondisi tersebut diatas, maka persetujuan pasangan dalam hal penjualan rumah adalah syarat wajib yang mutlak harus dipenuhi. Bahkan dalam hal apabila terjadi perceraian diantara keduanya, dan apabila kedua belah pihak telah bersepakat untuk membagi harta gono gini dengan cara yang disepakati secara bersama, maka ketika salah satu pihak hendak menjual rumah yang menjadi bagiannya berdasarkan kesepakatan, persetujuan mantan istri/suami tetap wajib untuk dipenuhi.

Aditya Permana

Mendirikan Taman Kanak-Kanak (TK) sesuai Undang-Undang

Pagi hari ini di kantor, saya kedatangan seorang bapak yang berniat untuk mendirikan sebuah Taman Kanak-Kanak (TK). Dia bertanya kepada saya, apakah bisa jika TK didirikan hanya dengan menggunakan akta lembaga saja, tanpa berbadan hukum. Maka saya pun menjelaskan dengan sangat ringkas agar dapat dengan mudah dipahami :

Bahwa menurut UU Nomor 20/2003 tentang Sisdiknas :
Pasal 28 (3) : Pendidikan anak usia dini pada jalur pendidikan formal berbentuk Taman Kanak-kanak (TK), Raudatul Athfal (RA), atau bentuk lain yang sederajat.
Pasal 53 (1) : Penyelenggara dan/atau satuan pendidikan formal yang didirikan oleh Pemerintah atau masyarakat berbentuk Badan Hukum Pendidikan.

Dari kedua pasal tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa : Taman Kanak-Kanak (TK) termasuk dalam jalur pendidikan formal yang wajib diselenggarakan oleh penyelenggara yang berbentuk Badan Hukum Pendidikan (BHP).

Lalu, apa itu BHP?

Read More »

Jeda

Sudah lebih dari 6 tahun saya tidak pernah menulis di blog ini lagi.
Tercatat, tulisan terakhir yang saya buat adalah ketika saya pulang dari perjalanan mengelilingi Sumatra bagian barat dan utara selulusnya saya dari Magister Kenotariatan Universitas Diponegoro tahun 2014 lalu, itupun hanya berupa foto-foto perjalanan saja.
Sepertinya, pekerjaan telah berhasil dengan baik mendistraksi saya dari hobi saya untuk menulis ataupun memotret.

Read More »